Minggu, 18 November 2018

Orang Sunda di Bumi Anoa

Memiliki kesempatan obserfasi di sebuah desa, perasan saya seperti kembali pulang kampong berkumpul bersama keluarga dan kerabat. Suasana dan perasaan mengajak saya untuk secepatnya terjun ke tanah dan udara di sana. Hari itu Rabu 15 Desember 2010. Saya memutuskan untuk melakukan perjalanan menuju sebuah desa yang masih terbilang alami, ditemani oleh sahabat saya. Pemandangan yang menghijau membuat hati dan pikiran menjadi damai. Seperti itu kata orang ketika menginjakkan kaki di desa itu. Sebuah desa yang terletak di sebelah utara pulau Sulawesi Tenggara ini berbeda dengan desa-desa lainnya di Sulawesi Tenggara. Awalnya saya mendengar ada orang Sunda di Sulawesi Tenggara ini terasa aneh karena, saya belum pernah mendengar sebelumnya ada sebuah desa yang keseluruhan berisi orang Sunda. Tetapi itu memang ada. Di kecamatan Ranomeeto kelurahan Ranomeeto ini bermukin sekitar 350 kepala keluarga, yang hampir keseluruhannya berbahasa sunda.


Sebagai orang Sunda, saya merasa senang ternyata banyak saudara-saudara saya urang Bandung bermukim di Negeri Anoa ini. Desa ini bernama Sindangkasih, yang secara harfiah terdiri dari dua kata yakni “sindang” yang artinya singgah, dan “kasih” yang artinya memberi. Jadi sindangkasih sering diartikan dengan “singgah memberi”. Mengapa demikian? Mengapa tidak dikatakan demikian, pemandangan yang alami dan suasana kampung yang damai, membuat sesuatu yang pengap menjadi segar. Hal itulah yang diberikan oleh desa ini. Sebuah obat bagi jiwa-jiwa yang sesak, mungkin bisa dikatakan demikain. Satu-satunya trasmigrasi yang paling dekat dengan kota di Sulawesi Tenggara ini, yakni Desa Sindangkasih, yang berbatas dengan desa Amoetosiama di sebelah selatan, desa Jati Bali sebelah timur, desa Lameuru sebelah utara, dan desa Rambu-rambu Jaya sebelah barat. Desa Sindangkasih ini memiliki jarak hanya 27 km dari pusat kota Kendari, jika menempuh perjalan hanya sekitar 30 menit. Di sepanjang perjalanan pun mata kita akan dimanjakan dengan pemandangan yang menghijau sejuk, rasa-rasanya seperti berada disebuah hutan lindung yang begitu menghijau.
Untuk pertama kalinya kaki ini menginjak tanah Sindangkasih, sungguh merip dengan perkampungan di Ciamis, Rasa araraneh kata orang Sunda . Pohon-pohon yang masih rimbun, embun-embun pun masih betah menenpel di pohon tersebut. Udara segar mengusir segala kepenatan yang sempat mendarat dipundak selama dalam perjalan. Rasanya seperti berada di kampung halaman. “Selamat datang di kampung terang Sindangkasih” seperti itulah tertulis di pintu gerbang masuk desa ini. Awalnya saya bingung mengapa disebut kampung terang, Apa mungkin kampung ini selalu terang? Atau hanya sebuah unggkapan? Akhirnya automatik Beat hasil pinjaman saya dari teman pun berhasil memasuki desa Sindangkasih. Sungguh mempesona, udara mengipas padangan hingga mata ini tak bosan memandang. “Memang benar apa yang orang-orang katakan, kampung ini memang begitu alami”. Dalam hati saya pun membatin. 
Bagi kebanyakan orang dari kampung mungkin melihat hal ini biasa-biasa saja. Namun yang menarik bagi saya desa ini berada sangat dekat dengan perkotaan. Yang tak kalah menariknya lagi, hampir 100% penghuni kampung ini menggunakan bahasa Sunda. Meski ada suku-suku lain yang berdomisili di desa ini, karena mereka menikah dengan masyarakat disini namun mereka berusaha untuk bisa menguasai bahasa sunda tersebut. saya pun berpikir, luar biasa mereka masih mampu mempertahankan bahasa daerah, meski di daerah trasmigrasi yang kebanyakkan bahasa telah bercampur. mana mungkin orang Sunda bisa meninggalkan kampungnya sejauh ini. Seperti halnya ayah saya yang mau tidak mau harus meninggalakan kampung halaman demi mengemban tugasnya.
Setelah saya berhasil memasuki desa ini, kamudian saya langsung mencari sebuah alamat yang dikirim dari ibunda saya lewat sebuah pesan singkat. Kebetulan di kampung saya ada orang Sindangkasih yang menetap di kampong saya, secara tidak langsung dia tahu dimana letak rumah Pak desa. Perlahan namun pasti, kendaraan yang saya tumpangi melaju menyusuri jalan yang berada di hadapan saya. pandangan kami terhenti pada sebuah balai desa ”Balai Pertemuan Sugema” seperti itulah tertulis di sana. Di sebrang jalan kami menemukan sebuah sekolah dasar tempat anak-anak setempat menimba ilmu dan pengetahuan. Kemudian perjalanan kami lanjutkan terus menyusuri jalan tanpa ada rasa takut tersesat. Langit cerah hari itu menemani perjalan saya bersama sahabat. Saya menemui seseorang yang barada dipinggir jalan guna menanyakan alamat tujuan, yakni rumah Pak desa.
Setelah saya dapatkan peta menuju rumah Pak desa, kami pun bergegas menuju ke tempat tersebut. Dari kejauhan terlihat hamparan sawah yang menghijau berada di ujung perkampungan. Keindahan yang Tuhan berikan memang tak ada batasnya, mata ini benar-benar terperangkap olehnya, bibir pun sejenak membisu melihat semuanya. Penataan di desa Sindangkasih ini memang sangat rapih dan khas. Hanya berjalan kaki beberapa meter saja dari ujung kampung kita bisa menikmati indahnya persawahan. Namun terlebih dahulu kami memutuskan untuk menemui Pak desa sebelum melihat hal-hal menarik lainnya yang terkandung di desa ini. Kepala desa di kampung ini bernama Pak Kardiman. Sebuah rumah dengan tanaman coklat di halaman, sepertim itulah rumah Pak desa. 
Pria yang sudah dua priode menjabat sebagai kepela desa ini menerangkan bahwa, pada tahun 1968 jumlah penduduk Sindangkasih masih sekitar 50 kepala keluarga, namun sekarang jumlah penduduknya sudah mencapai 1.538 jiwa, yang terdiri dari 786 laki-laki dan 754 perempuan. Semua pertanyaan yang menggrayangi pikiran saya pun saya lontarkan kepada Pak Kardiman. “Perkampungan ini berawal dari para pendahulu kami yang menamai daerah kompleks orang Sunda ini dengan nama sindangkasih. Memang nama-nama di Sulawesi Tenggara ini kebanyakan berbau Jepang seperti, Ranomeeto, boro-boro, pomalaa dan lain sebagainya. Konon, leluhur penduduk asli orang Tolaki adalah orang Jepang” jelas Pak Kardiman. Kemudian hal yang membuat mereka bertrasmigrasi ke daerah ini adalah, pemerintah mereka mempercayakan sawah, kebun, dan ladang untuk di urus. Oleh karena itu, kebanyakan warga di sini berprofesi sebagai petani. Meski pun ada yang berprofesi sebagai juragan angkot atau pete-pete, tetapi hanya beberapa orang saja.
Kebiasan-kebiasan yang sering dilakukan di desa ini cukup menarik. Masyarakat di sini memiliki kegiatan yang bukan hanya bisa menghibur diri sendiri, tetapi bisa juga menghibur orang lain. Kebiasaan-kebiasan yang diambil dari budaya sunda itu seperti Degung. Degung ini merupakan budaya sunda yang masih di bawa trasmigrasi. Degung ini bersifat menghibur, hampir mirip dengan wayang orang yang merupakan budaya jawa. Perbedaannya terletak pada bahasa. Jika wayang orang dimainkan dengan menggunakan bahasa jawa halus, degung ini menggunakan bahasa sunda sehari-hari sebab, bahasa sehari-hari lebih komunikatif disbanding bahasa halus. Selain kebudayaan dugung, masih ada kebiasan yang dilakukan di desa ini, yakni pencak silat dan adat pernikahan. Pencak silat merupakan ilmu beladiri asli milik Indonesia yang berasal dari Jawa Barat. Namun sayangnya saya tidak dapat langsung menyaksikan aksi mereka dalam berlatih. Pencak silat di desa ini kebanyakan diikuti oleh anak-anak yang masih palajar. Mereka biasa berlatih pada malam minggu. 
Kebiasaan-kebiasaan yang sering mereka lakukan tersebut, tidak hanya dimainkan di desanya, akan tetapi kebudayaan mereka cukup terkenal sampai desa-desa tetangga bahkan kota. Terkadang ada undangan yang meminta degung untuk hadir membawa hiburan di acara-acara, seperti pernikahan, pemilihan kepala desa, dan masih banyak lainnya. 
Adat pernikahan sunda pun masih melekat pada masyarat Sindangkasih ini, walau tidak secara keseluruhan dilakukan. Adapun adat pernikahan sunda yang sering dilakukan seperti, nuendeun omong (orang tua pria bermaksud mempersunting seorang gadis). Lamaran (melamar), tunangan, (tunangan ini dilakukan dengan bertukar tali pinggang berwarna pelangi yang sering desebut buebuer tamueh), seserahan (tujuh hari sebelum pernikahan calon mempelai lelaki membawa pakaian dan barang-barang dapur). Upacara pernikahan terdiri dari, menjemput mempelai pria, ngabageakeun (memberi kalung bunga melati), akad nikah, sungkeman (meminta maaf kepada kedua orang tua), saweran,(kedua mempelai disiram dengan beras kuning yang dicampur dengan uang koin). Nincak endog (pengantin pria menginjak telur sampai pecah, kemudian pengantin wanita memcuci kakinya) hal ini dilakukan agar isrti patuh terhadap suami. Rangkaian adat pernikahan sunda itulah yang masih dilakukan oleh masyarakat Sindangkasih. Sementara rangkaian yang lain banyak yang ditinggalkan, meski pun demikain tidak mengurangi kesakralan ritual tersebut. Adat pernikahan tersebut dilakukan jika kedua mempelai sama-sama latar belakang Sunda. Jika salah satu mempelai bukan berasal dari golongan sunda, biasanya adat ritual tersebut tidak digunakan, tetapi menggunakan adat yang sesuai dengan suku mereka, atau pun sesuai kesepakatan keluarga. Seperti itilah Pak Kardiman menjelaskan panjang lebar.
Tidak terasa waktu begitu cepat berlalu, sebelum berpamitan ayah empat orang anak ini pun menyampaikan harapan untuk kemajuan desanya, yakni fasilitas pendidikan dapat diperbarui lagi. Sebab, fasilitas pendidikan di desa Sindangkasih ini masih terbilang kurang diperhatiakan. Akhirnya tiba saatnya kaki ini melangkang meninggalkan desa nan ramah seramah sunyum yang terkurung di setiap masyarakatnya.(am).

Minggu, 05 Agustus 2018

Sajarah Basa Sunda


Teu aya maksad anu sanes ti sim kuring midangkeun ieu sajarah basa sunda sangkan urang imeut kana sajarah basana sorangan, ngahaja meunang mulungan, meunang ngorehan sugan jeung sugan aya mangpaatna keur urang sarerea,

Basa sunda nu aya ayeuna teh mangrupa hasil tina kamekaran sapanjang masa, basa sunda terus robah sangkan bisa ngigelan jaman. Robahna teh salilana luyu jeung robahna kabudayaan sunda, anu nampa rupa rupa pangaruh tina kabudayaan deungeun. Basa sunda kungsi meunang pangaruh tina budaya jeung agama hindu, budaya jeung agama islam, budaya jawa (mataram) jeung budaya barat, eta pangaruh teh saterusna di olah nurutkeun kapribadian urang sunda dipake geusan mekarkeun kabudayaan sorangan.
Dina gurat badagna galuring sajarah basa sunda teh bisa diringkeskeun kieu :

1. Sajarah basa sunda mangsa I (samemeh taun 1600 masehi)
Nepi ka taun 1600 masehi, basa sunda teh mangrupa basa nagara di karajaan salakanagara, galuh, kawali, sunda jeung pajajaran. Dina ieu mangsa basa sunda kaasupan ku basa sansakerta saperti anu katembong dina prasasti titinngal purnawarman, malah aksarana oge make aksara pallawa. Basa sunda alam harita dipake dina widang kanagaraan, kasenian jeung kahirupan sapopoe, loba kitab suci anu ditulis dina basa sunda sarta ngagunakeun aksara sunda (kuna) saperti siksa kanda ng karesian, carita parahiyangan, darmasiksa jeung guru talapakan. Geura titenan basa sunda nu dipake alam harita, boh nu aya dina prasasti boh nu aya dina karya sastrana :

Prasasti ciaruteun, titinggal purnawarman
"Jayaviclasya tarumendrasya hastinah airavabhasya vibhatidam padadavayam"
hartina : ieu (tapak) dua sampean airawata anu gagah perkasa, gajah inguan pangawasa taruma nu mawa kadigjayaan

Prasasti pasirmuara, cibungbulang titinggal karajaan sunda
"ini sabdakalanda rakryan juru pengambat I kawihadji panca pasagi marsandeca barpulihkan hadji sunda"
hartina : ieu teh ucapan rekeyan juru pengambat dina taun saka 458 nu netelakeun yen pamarentahan daerah dipulihkeun ku raja sunda

Prasasti astana gede titinggal karajaan sunda di kawali
“nihan tapa kawali nu sanghiyang mulia tapa bhagya parebu raja wastu mangadeg dikuta kawali nu mahayuna kadatuan surawisesa nu marigi sakuriling dayeuh nu najur sgala desa. Aya ma nu pandeuri pakena gawe rahayu pakeun heubeul
hartina : ieu nu tapa di kawali teh nyaeta tapana nu mulya lir dewa. Gusti nu bagja, raja wastu nu ngereh di kota kawali, nu parantos mapaes karaton surawisesa nu ngadamel kakalen sakuriling dayeuh, nu nyantosa sakuliah wewengkon, muga-muga kapayuna aya nu kersa midamel kasaean sangkan punjul sajagat.

2. Sajarah basa sunda mangsa II (1600-1800 masehi)
Basa sunda dina mangsa ieu geus kapangaruhan ku basa arab jeung basa jawa, basa arab asupna kana basa sunda teh ngaliwatan pasantren, ari basa jawa asupna kana basa sunda teh ngaliwatan padaleman (pamarentahan). Harita di tatar sunda geus jlug jleg pasantren, umumna ajengan nu ngadegkeun pasantren di urang teh kungsi masantren di wetan jadi salian ngasupkeun basa arab kana basa sunda pasantren oge milu ngasupkeun basa jawa deuih nya diantarana ngaliwatan pasantren deuih asupna wawacan jeung sarupaning upacarana teh. Kitu deui widang pamarentahan, harita tatar sunda ka ereh ku mataram, para gegeden sunda (dalem) sataun sakali kudu seba ka dayeuh mataram, tara sakeudeung sakeudeung didituna teh, balikna maw adat cara kadaleman jawa, nya mangsa harita mimiti asupna undak usuk basa kana basa sunda teh nu mangrupa pangaruh tina basa jawa (contono dina naskah wawacan sulanjana).

3. Sajarah basa sunda mangsa III (1800-1900 masehi)
Dina ieu mangsa, basa sunda mimiti kaasupan ku basa walanda, ngaliwatan para bupati jeung pagawe walanda, memang harita mah wewengkon sunda teh geus aya dina genggeman pamarentah hindia walanda, nya harita medalna buku basa sunda anu ditulis ku aksara laten teh basa sunda mimiti dijadikeun ulikan bangsa deungeun utamana bangsa walanda, salian ti eta basa sunda oge mimiti kaasupan basa malayu deuih. Harita aya katangtuan ti bangsa walanda sangkan bangsa pribumi, kaasup urang sunda kudu ngagunakeun basa malayu minangka lingu –francana (contona aya dina wawacan panji wulung 1876).

4. Sajarah basa sunda mangsa IV (1900-1945)
Dina ieu mangsa, sakola-sakola beuki rea, basa sunda terus digunakeun sarta diajarkeun disakola-sakola para panalungtik basa sunda beuki loba deuih boh bangsa deungeun boh urang sundana sorangan, beuki tembong bae pangaruh basa walanda kana basa sunda teh nepi ka harita mah teu saeutik urang sunda nu nyaritana direumbeuy ku basa walanda, utamana kaom palajar, basa sunda pacampur jeung basa arab, jawa, malayu jeung walanda dipake dina widang atikan jeung kabudayaan pikeun nuliskeunana geus prah make aksara laten. Dina ieu mangsa, medal pustakamangsa dina basa sunda saperti papaes nonoman (1915), pasoendan (1917), poesaka soenda (1923) jeung sipatahoenan (1923).

5. Sajarah basa sunda mangsa V (1945-kiwari)
Mangsa ti taun 1945 nepi ka kiwari sok disebut oge mangsa sabada perang, basa sunda dipake dina kahirupan sapopoe, pustakamangsa, kabudayaan jeung buku-buku atawa kapustakaan. Mangsa ieu basa sunda loba kapangaruhanana ku basa indonesia, dina istilah-istilah basa kosta memeh asup kana basa sunda teh umumna ngaliwatan heula basa indonesia, utamana nu dipake ku masarakat kota, nepi ka aya istilah sunda kamalayon geuning, nyaeta basa sunda anu kapangaruhan ku basa malayu (indonesia).

Ceuk inohong sunda jeung para ahli, basa sunda nu ayeuna pasti bakal robah dimangsa jaga, nu ngarobahna tangtuna oge urang sunda keneh, robahna basa sunda nu ngindung ka waktu ngabapa ka kajaman teh moal matak lewang ngawariskeunana ka turunan urang engkena asal robahna eta basa teh tetep aya dina pangriksa jeung pangraksa LBSS.

Jumat, 03 Agustus 2018

Sejarah Singkat Desa Sindangkasih


Tahun 1968 ada program transmigrasi ke Provinsi Sulawesi Tenggara salah satu daerah yang di sediakan Provinsi adalah Kecamatan Ranomeeto Kabupaten Konawe Selatan Kecamatan Ranomeeto saat itu terdiri dari desa :
1. Desa Ambaipua
2. Desa Boro-Boro
3. Desa Amoito
4. Desa Onewila
5. Desa Amokuni
6. Desa Lameuru
7. Desa Opaasi
8. Desa Onewila
9. Desa Ranooha
10. Desa Rambu-Rambu Jaya

Wilayah yang di Jadikan lahan transmigrasi adalah (1) Desa Ambaipua (2) Desa Boro-Boro (3) Desa Opaasi (4) Desa Lameuru. Desa Ambaipua menampung warga transmigrasi terutama yang berasal dari Purwakarta dan Bali sebagianya tersebar di desa lain.

Setelah penduduk semakin banyak dilakukan pemekaran desa. Desa Ambaipua di mekarkan menjadi tiga desa yaitu Desa Ambaipua, Desa Sindangkasih, Desa Jati Bali. Nama Desa Sindangkasih di usulkan warga yang kebanyakan dari Purwakarta dan Desa Jati Bali di usulkan oleh warga transmigrasi dari Bali.

Pada awal transmigrasi tahun 1968 penduduk yang bermukim di desa Sindangkasih sekitar 50 kepala keluarga namun sekarang jumlah mencapai 1.536 jiwa yang terdiri dari 783 laki-laki dan 753 perempuan. Tahun 1968 masyarakat transmigran dipercayakan oleh Pemerintah untuk mengelola sawah, kebun, dan ladang sebagai sumber mata pencaharian. Oleh karena itu banyak dari mereka berprofesi sebagai petani dan sekian tahun terbukti Desa Sindangkasih ini mulai ada koperasi, penggilingan padi sebanyak 2 unit, akses transportasi serta peternakan yang dimiliki warga tersebut.

Inilah yang menjadi indikator keberhasilan masyarakat Sindangkasih selama menggeluti hidup dilokasi tersebut dan sebagian dari masyarakat desa pun ada yang beralih profesi sebagai juragan angkot atau lebih memilih berjualan dipasar. Bentuk keberhasilan masyarakat desa dari tahun 1968 sampai 2013 yakni ada yang naik haji, mensarjanakan anaknya membeli mobil yang kesemuanya itu hasil dari kerja keras masyarakat Desa Sindangkasih. Mayoritas penduduk disini menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-hari.

Secara geografis desa ini terletak di sebelah utara pulau Sulawesi Tenggara, Kecamatan Ranometo Barat Kabupaten Konawe Selatan. Sindangkasih merupakan wilayah transmigrasi yang letaknya tidak jauh dari kota Sulawesi Tenggara, yang memiliki jarak tempuh kira-kira 35 km dari pusat kota Kendari

Mengenai hubungan sosial sangat erat kaitanya dengan interaksi sosial yakni hubungan timbal balik antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok. Hal ini terdapat pada masyarakat transmigrasi Desa Sindangkasih dengan penduduk lokal. Salah satu hubungan sosial yang terjadi di dalamnya adalah berupa kerja sama yakni kerja sama dalam hal bertani atau berkebun, dimana antara warga trans dengan penduduk lokal saling bertukar informasi atau strategi dalam hal pertanian ataupun perkebunan.

Soal tentang konflik dari beberapa informan masyarakat maupun kepala desa Sindangkasih mengaku dari awal transmigran datang 1968 sampai sekarang tidak pernah ada konflik antar warga trans dan masyarakat lokal karena masing-masing pihak sudah mengetahui keberadaan dimana mereka tinggal dan penyesuaian diri artinya masyarakat lokal harus menghargai pendatang, dan masyarakat trans harus menghargai masyarakat lokal adapun konflik yang terjadi hanya dikalangan remaja itupun sifatnya sementara dan tidak sampai melibatkan orang dewasa ataupun orang tua. kecemburuan sosial warga lokal pun tidak ada, bahkan sudah ada percampuran antara masyarakat lokal dengan masyarakat transmigrasi, dalam hal pernikahan antara masyarakat lokal dengan masyarakat trans urusan adat perkawinan tidak menjadi soal, karena masing-masing pihak sudah mengerti dan disesuaikan dengan keadaan, artinya disesuaikan dengan adat masing-masing tapi tidak sampai menyulitkan keadaan.

Selasa, 31 Juli 2018

Sindang Kasih Sukses Menjadi Penempatan Transmigrasi Pertama di Sultra


KOLAKAPOS, Andoolo–Desa Sindang Kasih, Kecamatan Ranomeeto Barat, Konsel, ditunjuk oleh Kementerian Percepatan Daerah Tertinggal (PDT) sebagai lokasi upacara peringatan Hari Kelahiran Pancasila (HKP).
Wabup Konsel Arsalim Arifin mengungkapkan, Konsel patut berbangga dengan terpilihnya desa Sindang Kasih sebagai lokasi upacara peringatan hari Pancasila oleh Kementerian PDT dan tTransmigrasi.
Menurut Arsalim, dipilihnnya Desa Sindang Kasih bukan tanpa alasan dimana pihak Kementerian PDT dan Transmigrasi menilai desa yang terletak di Kecamatan Ranomeeto Barat itu, merupakan desa yang sukses menjadi landasan lokasi penempatan transmigrasi pertama.
“Sejak awal pengiriman peserta transmigrasi pada tahun 1980-an hingga sekarang, desa Sindang Kasih yang populasinya mayoritas transmigran mampu mewujudkan keinginan Pemerintah Pusat, terkait kesejahteraan warga transmigran,” ungkap Arsalim.
Mantan Kepala Bappeda Konsel ini menambahkan, sesuai dengan permintaan Kementerian bertindak sebagai Inspektur Upacara, adalah Bupati Konawe Selatan, dengan Komandan Upacara adalah Danramil Ranomeeto, yang dihadiri oleh Dirjen Penempatan Tenaga Transmigrasi Kementerian Desa PDT dan Transmigrasi.
“Peserta upacaranya adalah warga di 9 desa yang ada dalam wilayah otoritas kecamatan Ranomeeto Barat, dengan jumlah peserta upacara berkisar 1000 orang,” kata Arsalim.
Untuk diketahui, desa Sindang Kasih juga pernah menjadi juara III lomba desa tingkat Nasional, dan satu kebanggan lagi kini ditunjuk lagi sebagai lokasi pelaksanaan upacara HKP. (k5) 

Berita Unggulan

Sejarah Singkat Desa Sindangkasih

Tahun 1968 ada program transmigrasi ke Provinsi Sulawesi Tenggara salah satu daerah yang di sediakan Provinsi adalah Kecamatan Ranomeet...