Orang Sunda di Bumi Anoa


Kembali ke Kampung: Catatan Observasi di Desa Sindangkasih

Memiliki kesempatan melakukan observasi di sebuah desa, perasaan saya seperti kembali pulang kampung, berkumpul bersama keluarga dan kerabat. Suasana dan perasaan itu mengajak saya untuk segera terjun ke tanah dan menghirup udara di sana. Hari itu, Rabu, 15 Desember 2010, saya memutuskan melakukan perjalanan menuju sebuah desa yang masih terbilang alami, ditemani oleh sahabat saya. Pemandangan yang menghijau membuat hati dan pikiran menjadi damai. Seperti itulah yang dikatakan orang-orang ketika menginjakkan kaki di desa itu.

Sebuah desa yang terletak di sebelah utara Pulau Sulawesi Tenggara ini berbeda dengan desa-desa lain di wilayah tersebut. Awalnya, ketika saya mendengar ada orang Sunda di Sulawesi Tenggara, terasa aneh. Saya belum pernah mendengar sebelumnya ada sebuah desa yang seluruh warganya merupakan orang Sunda. Namun, itu memang ada—di Kecamatan Ranomeeto, Kelurahan Ranomeeto, bermukim sekitar 350 kepala keluarga, yang hampir seluruhnya berbahasa Sunda.

Sebagai orang Sunda, saya merasa senang. Ternyata banyak saudara-saudara saya, urang Bandung, yang bermukim di Negeri Anoa ini. Desa tersebut bernama Sindangkasih, yang secara harfiah terdiri dari dua kata, yakni sindang (singgah) dan kasih (memberi). Jadi, Sindangkasih sering diartikan dengan “singgah memberi”. Mengapa demikian? Tak lain karena pemandangan yang alami dan suasana kampung yang damai membuat segala sesuatu yang pengap menjadi segar. Desa ini ibarat obat bagi jiwa-jiwa yang sesak.

Desa Sindangkasih merupakan satu-satunya kawasan transmigrasi yang paling dekat dengan pusat kota di Sulawesi Tenggara. Desa ini berbatasan dengan Desa Amoito Siama di sebelah selatan, Desa Jati Bali di sebelah timur, Desa Lameuru di sebelah utara, dan Desa Rambu-Rambu Jaya di sebelah barat. Letaknya hanya 27 km dari pusat Kota Kendari. Perjalanan menuju ke sana hanya memakan waktu sekitar 30 menit. Di sepanjang jalan, mata kita akan dimanjakan dengan pemandangan hijau yang sejuk, rasanya seperti berada di hutan lindung.

Untuk pertama kalinya, kaki ini menginjak tanah Sindangkasih. Suasananya sungguh mirip dengan perkampungan di Ciamis—araraneh, kata orang Sunda. Pohon-pohon masih rimbun, embun pun masih betah menempel di daun-daunnya. Udara segar mengusir segala kepenatan yang sempat bersarang di pundak selama perjalanan. Rasanya seperti benar-benar berada di kampung halaman. Di pintu gerbang tertulis, “Selamat Datang di Kampung Terang Sindangkasih.” Awalnya saya bingung, mengapa disebut kampung terang? Apakah kampung ini selalu terang, atau hanya sebuah ungkapan?

Akhirnya, motor Beat hasil pinjaman dari teman berhasil membawa saya masuk ke Desa Sindangkasih. Sungguh mempesona. Udara yang berhembus mengusap pandangan, hingga mata ini tak bosan memandang. “Memang benar apa yang orang-orang katakan, kampung ini begitu alami,” batin saya.

Bagi kebanyakan orang dari kampung, mungkin hal ini biasa saja. Namun, yang menarik bagi saya adalah kedekatan desa ini dengan perkotaan. Yang lebih mencengangkan, hampir 100% penduduk desa ini menggunakan bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun ada warga dari suku lain yang berdomisili di desa ini karena menikah dengan masyarakat setempat, mereka berusaha menguasai bahasa Sunda. Saya pun berpikir, luar biasa! Mereka mampu mempertahankan bahasa daerah, meski berada di daerah transmigrasi, di mana biasanya bahasa sudah bercampur. Mana mungkin orang Sunda bisa meninggalkan kampung sejauh ini? Seperti halnya ayah saya yang harus meninggalkan kampung halaman demi tugas negara.

Setelah berhasil memasuki desa, saya langsung mencari sebuah alamat yang dikirimkan oleh ibu saya lewat pesan singkat. Kebetulan, di kampung saya ada orang Sindangkasih yang menetap, sehingga dia tahu lokasi rumah kepala desa. Perlahan tapi pasti, kendaraan yang saya tumpangi menyusuri jalan di hadapan. Pandangan kami terhenti pada sebuah balai desa bertuliskan Balai Pertemuan Sugema. Di seberang jalan, tampak sebuah sekolah dasar tempat anak-anak belajar. Perjalanan kami lanjutkan tanpa rasa takut tersesat. Langit cerah menemani perjalanan saya dan sahabat.

Saya lalu menemui seseorang di pinggir jalan untuk menanyakan alamat rumah Pak Kepala Desa. Setelah mendapatkan petunjuk arah, kami bergegas menuju ke sana. Dari kejauhan terlihat hamparan sawah hijau di ujung perkampungan. Keindahan Tuhan memang tiada batas. Mata ini benar-benar terperangkap olehnya, dan bibir pun terdiam sejenak karena takjub. Penataan desa Sindangkasih sangat rapi dan khas. Hanya dengan berjalan kaki beberapa meter dari ujung kampung, kita sudah bisa menikmati keindahan persawahan.

Sebelum menikmati keindahan lainnya, kami memutuskan untuk terlebih dahulu menemui kepala desa, Pak Kardiman. Rumah beliau ditandai dengan tanaman cokelat yang tumbuh di halaman. Pria yang sudah dua periode menjabat sebagai kepala desa ini menjelaskan bahwa pada tahun 1968 jumlah penduduk Sindangkasih masih sekitar 50 kepala keluarga. Namun kini, jumlah penduduknya telah mencapai 1.538 jiwa, terdiri dari 786 laki-laki dan 754 perempuan.

Semua pertanyaan yang menggelayuti pikiran saya pun saya ajukan kepada beliau. “Perkampungan ini berawal dari para pendahulu kami yang menamai daerah kompleks orang Sunda ini dengan nama Sindangkasih. Nama-nama di Sulawesi Tenggara ini kebanyakan memang berbau Jepang, seperti Ranomeeto, Boro-boro, Pomalaa, dan lain sebagainya. Konon, leluhur penduduk asli orang Tolaki adalah orang Jepang,” jelas Pak Kardiman.

Beliau melanjutkan, alasan warga Sunda bertransmigrasi ke daerah ini adalah karena pemerintah mempercayakan sawah, kebun, dan ladang untuk mereka urus. Oleh karena itu, mayoritas warga berprofesi sebagai petani. Meskipun ada juga yang menjadi juragan angkot atau pete-pete, jumlahnya hanya sedikit.

Kebiasaan-kebiasaan masyarakat di desa ini sangat menarik. Mereka tidak hanya menghibur diri sendiri, tetapi juga bisa menghibur orang lain. Salah satu budaya yang masih dibawa dari tanah Sunda adalah Degung. Degung ini merupakan kesenian Sunda yang bersifat menghibur, mirip dengan wayang orang dari budaya Jawa. Perbedaannya terletak pada bahasa. Jika wayang orang dimainkan dengan bahasa Jawa halus, maka Degung menggunakan bahasa Sunda sehari-hari yang lebih komunikatif.

Selain Degung, masyarakat di sini juga melestarikan pencak silat dan adat pernikahan Sunda. Pencak silat, seni bela diri asli Indonesia dari Jawa Barat, biasanya dilatih oleh anak-anak sekolah di malam Minggu. Sayangnya, saya belum berkesempatan menyaksikannya secara langsung.

Kesenian-kesenian tersebut tidak hanya dinikmati di desa ini, tetapi juga sering diundang oleh desa-desa tetangga bahkan kota, terutama dalam acara pernikahan, pemilihan kepala desa, dan kegiatan lainnya.

Adat pernikahan Sunda juga masih dilestarikan oleh masyarakat Sindangkasih, meskipun tidak seluruhnya dijalankan. Beberapa tahapan yang masih dilakukan antara lain:

  1. Nuendeun omong (pertemuan awal keluarga pria untuk menyatakan niat meminang)
  2. Lamaran
  3. Tunangan (dengan bertukar tali pinggang berwarna pelangi yang disebut buebuer tamueh)
  4. Seserahan (tujuh hari sebelum pernikahan, calon pengantin pria membawa barang-barang ke rumah calon istri)
  5. Ngabageakeun (menyambut mempelai dengan kalung bunga)
  6. Akad nikah
  7. Sungkeman (meminta restu dan maaf kepada orang tua)
  8. Saweran (pengantin disiram beras kuning dan uang koin)
  9. Nincak endog (pengantin pria menginjak telur dan istrinya mencuci kaki suaminya sebagai lambang kepatuhan)

Namun, jika salah satu mempelai bukan dari latar belakang Sunda, biasanya adat tersebut disesuaikan atau diganti sesuai kesepakatan keluarga.

Waktu terasa berlalu begitu cepat. Sebelum berpamitan, ayah dari empat anak ini menyampaikan harapan agar fasilitas pendidikan di desa ini dapat diperbaiki. Fasilitas pendidikan di Desa Sindangkasih memang masih kurang mendapat perhatian.

Akhirnya, tiba saatnya kaki ini melangkah meninggalkan desa nan ramah, seramah senyum yang selalu menghiasi wajah masyarakatnya.

Post a Comment

Berikan saran dan masukan yang sifatnya membangun.

Lebih baru Lebih lama